Are We Living the Instagram Li(f)e?

Beberapa minggu yang lalu, saya mempost video Living the Instagram Lie di timeline FB page askfionamd (www.facebook.com/askfionamd) dan dengan sengaja mengajak anak saya yang berusia hampir 11 tahun untuk menontonnya. Dia sendiri tidak punya akun FB tetapi rajin lihat Instagram. Banyak teman sekolahnya yang sudah punya akun instagram pribadi dan rajin share berbagai hal keseharian seperti menunjukkan mainan squishynya yang baru, mencontohkan cara membuat slime, atau sekedar foto selfie lengkap dengan filter, kuping kelinci, duck face, dan sejenisnya.

 

 

My daughter was very impressed with the video dan bahkan mengulang menontonnya beberapa kali.

Untuk yang belum lihat isi video tersebut menggambarkan bahwa orang (banyak orang) memposting hal kesehariannya di instagram padahal hal tersebut bukanlah kejadian sebenarnya. Ada yang membeli minuman sehat lalu memfotonya dan share di instagram. Setelah dicicip ternyata tidak enak dan minumannya dibuang ke tempat sampah. Tetapi teman-temannya sudah terlanjur melihat di instagram, mungkin sudah klik icon Love. Nah, bahkan setelah yang empunya minuman sudah melupakan kejadian tersebut, orang lain masih sibuk browsing ide jus sehat, cari lokasi beli jus sejenis, atau yang lebih gawat malah jadi minder karena tidak bisa mengikuti gaya hidup sehat terkini seperti sang teman.

 

Remaja dan Media Sosial

Terlibat dengan berbagai bentuk media sosial adalah aktivitas rutinyang telah diteliti memberi manfaat bagi anak dan remaja dengan meningkatkan komunikasi, hubungan sosial, dan bahkan keahlian teknis. Media sosial seperti Facebook menawarkan kesempatan setiap hari berkomunikasi dengan sahabat, teman sekelas, dan orang yang memiliki minat yang sama. Selama 5 tahun terakhir, jumlah anak praremaja dan remaja yang menggunakan situs seperti itu telah meningkat tajam. Menurut survei terakhir, 22% remaja masuk ke media sosialnya lebih dari 10 kali setiap hari. Sebanyak 75% remaja memiliki telepon genggam dan 25% darinya menggunakannya untuk media sosial, 54% untuk mengirim pesan, dan 24% untuk pesan singkat. Dengan demikian, sebagian besar dari perkembangan sosial dan emosional generasi ini terjadi di internet dan telepon genggam mereka.

 

Bahaya Media Sosial bagi Anak

Para ahli telah mengusulkan sebuah fenomena yang disebut Facebook Depression didefinisikan sebagai depresi yang terbentuk ketika remaja dan pra remaja menghabiskan banyak waktu di media sosial seperti Facebook dan mulai menunjukkan gejala klasik depresi. Penerimaan dan hubungan dengan sebaya adalah faktor yang penting pada masa remaja. Intensitas dari dunia maya diduga adalah faktor yang memicu depresi pada beberapa remaja. Sebagai mana halnya dengan depresi offline, anak remaja dan pra remaja yang mengalami Facebook Depression berisiko terisolasi dan akhirnya beralih ke situs internet dan blog yang berbahaya dan mempromosikan penggunaan obat-obatan terlarang, kegiatan seksual yang tidak aman, atau aktivitas yang merusak diri sendiri.

Read more:
Jarimu Harimaumu

Pepatah lama mulutmu harimaumu mungkin lebih tepat diubah menjadi jarimu harimaumu mengikuti perkembangan zaman karena melalui jari kita lebih banyak berinteraksi sehari-hari. Bisa via WA, LINE, atau berbagai medsos. Klik like, love, comment pada status teman, sahabat, kenalan kita. Mulut bisa jadi irit digunakan dalam percakapan sehari-hari. Oleh karena itu, bijak menggunakan jari perlu menjadi perhatian kita semua.

Baca juga: Bijak Bermedia Sosial karena Jarimu Harimaumu, oleh Putu Sukartini (www.emakcihuy.com) dan merupakan blogpost trigger #KEBloggingCollab untuk kelompok Butet Manurung.

Apakah komen kita sudah pada tempatnya?

Jika kita bertanya apakah pertanyaan tersebut pantas diajukan, menyinggungkah orang yang membacanya?

Bisakah diungkapkan dengan susunan kalimat yang lebih santun? Atau malah penting ga sih untuk ditanya? Alias kepo ajaaa….

Jika memang kepo mungkin baiknya menggunakan jalur pribadi sehingga jawaban yang bersangkutan tidak ikut dibaca oleh sejagad raya.

Jika memberi saran juga demikian.

Apakah saran kita sudah disampaikan dengan sebaik-baiknya?

Apakah perlu dan harus bangetttt diberi saran atau malah orangnya ga minta diberi saran mungkin. Jadi sejenis saran usil ga pandang tempat. Ini juga sangat mengganggu.

Terakhir juga perlu dicermati apakah kita sudah menjadi orang yang tepat untuk memberi saran. Jangan-jangan kita saja belum menjalankan saran tersebut dan hanya sekedar nyuruh-nyuruh. Uffft…

Lanjut, jika bentuknya share artikel, berita, kabar, pentinggg SANGAT untuk kroscek kebenarannya.

Apa panduannya?

Pertama lihat yang menuliskan beritanya, lihat penulisnya, portal beritanya, apakah terpercaya atau terkesan ga jelas.  Untuk berita sensitif terlebih lagi harus ekstra kroscek. Jangan sampai kita turut menyebarkan kabar burung yang fitnah. Waw. Ikutan dosa dong.

 

Cara Mengajarkan Anak Menggunakan Media Sosial

Apa hubungannya dengan teen parenting?

Nah, ini dia. Hubungannya amat dekat.

Orang tua harus menjadi orang pertama yang mengajarkan pada anak tata karma berhubungan di dunia maya. Saat mulai berkenalan dengan dunia online, tentu anak kurang paham segala sesuatunya. Kita perlu memberi tahu, mengajarkan, mencontohkan. Jangan malah kebalik loh, orang tuanya juga ga paham… Oh, nooo… Kelar deh hidup anak kita.

Tahukah kita bahwa semua postingan di dunia maya bisa menyinggung, menyemangati, menyindir, menginspirasi orang lain yang membaca. Kadang pada postingan yang netral sekalipun bisa ada yang ikut sedih. Misalnya posting anak nilainya 90 semua. Ibu lain abis baca jadi sedih karena anaknya baru pulang membawa ulangan dengan nilai merah. Padahal maksud hati yang posting adalah untuk bersyukur, berbagi kebahagiaan, ehhh…lain yang ditangkap orang.

Orang dewasa saja bisa minder, sedih, bête, dsb membaca postingan orang lain. Apalagi dalam konteks anak remaja yang labil emosinya. Sudah terlalu banyak studi yang menunjukkan korelasi antara media sosial dan tingkat depresi pada remaja. Kalau kita cermati bahwa semakin banyak remaja sekarang yang larut dalam sedihnya dan berakhir pada depresi, itu berhubungan erat dengan keterlibatan mereka di media sosial.

 

 

More people are living fake lives.

Yet, yang membaca tetap percaya bahwa itu adalah kondisi sebenarnya. Anak jadi down memikirkan hidupnya yang sepertinya kurang asik, dirinya yang kurang keren, barang miliknya yang kurang up to date, dibanding teman-temannya di dunia maya. Setelah itu, mereka jadi terdorong untuk lebih eksis lagi, lebih kekinian lagi….dengan segala cara. Hidup tergantung berapa banyak followers dan likes. Huhuhu….

Sad but true.

 

Read more: Kapan Anak Boleh Punya Gadget Sendiri

 

So what we can do as parents?

  1. IMHO, kita harus mendudukkan anak-anak kita pada lokasi yang sebenarnya yaitu pada dunia nyata. Hidup itu nyata. Masalah itu nyata. Kadang indah kadang engga. Batasi penggunaan media sosial anak apalagi pada anak yang masih  relatif kecil. Tunjukkan bahwa yang ada di media sosial bukanlah hal yang sebenarnya. Kadang tidak benar sama sekali, kadang hanya secuil dari kejadian yang ada.
  2. Just be yourself.
  3. Ajarkan anak untuk memilih hal apa yang ingin di-share ke media sosial. Pastikan tidak melanggar batas privacy kehidupannya seperti berbagi setiap menit aktivitas dan menjadi media curhat tidak terkontrol.
  4. Beri tahu anak bahwa ada banyak manfaat lain dari media sosial selain untuk berbagi hal remeh-temeh dan mencari pengakuan melalui icon love dan like. Misal membaca artikel bermanfaat, follow akun inspiratif, dan keep in touch dengan sahabat lama.
  5. Anak perlu paham prinsip cek dan ricek dan kroscek dalam membaca, membagi berita yang ditemui di media sosial. Tidak serta-merta klik tombol share sebelum paham betul apa isi artikelnya dan siapa penulisnya.
  6. Ajak anak berkegiatan lain offline seperti pergi berolah raga atau piknik bersama. Walau pilihan kegiatannya tidak harus kegiatan sehat tetapi semua kegiatan offline tujuannya agar anak disconnect dari dunia maya sejenak dan menjalani hidupnya di dunia nyata. Jadi pergi makan bersama atau nonton film di bioskop juga bisa menjadi pilihan yang menyenangkan.
  7. Say no to cyber bullying. Bullying di dunia maya seperti media sosial bahkan lebih mudah loh, semudah mengetik komen. Beda kalau kita hadir face to face dengan si teman dan mengucap komen bullying tersebut langsung ke orangnya. Itu juga yang menyebabkan cyber bullying dapat berkembang dan menjadi hal yang mengerikan di dunia remaja. Banyak anak yang tidak paham dampak emosional menjadi korban bullying dan bahkan mengakibatkan si korban sedih, depresi, dan sampai bunuh diri.
  8. Be a role model. Orang tua perlu terlebih dahulu mencontohkan sikap bijak sambil mengajarkan anak cara menggunakan media sosial.

 

 

Keep Reading. Stay fit.

 

 

Fiona Esmeralda, dr, MM

www.askfionamd.com

LINE: fionaesmeralda

consult@askfionamd.com

 

 

 

Tulisan ini adalah bagian dari KEB  bloggingcollab bersama

www.ophiziadah.com

www.ngiringmelali.com

www.everonia.com

www.hidayah-art.com

 

 

Comments

  1. setuju sama semua point di atas mbak Fiona. Btw aku sebagai ibu sampai unfriend salah satu temen di FB, karena sehari2 hanya membuat status soal betapa hebatnya dia dan anak2nya. Contohnya kira2 gini: hebat anakku X selalu rangking 1 di kelas, siapa dulu dong bapaknya, lulusan universitas Y”. Agak jengah mbacanya, dan daripada bikin suuzon dan ngomongin di belakang, demi kesehatan jiwaku aku unfriend hehehehe….
    Salam kenal mbak 🙂

    1. fiona says:

      Salam kenal juga, mbak.. Waduh susah juga kalo temennya begitu.. Memang unfriend itu bisa membawa ketenangan jiwa sih. Hiihihi

  2. Rina Susanti says:

    Anak2 sekarang hidup di era sosial media jd orangtua harus lebih pintar dan aware ya agar anak2 tdk terjebak dlm kehidupana maya saat memiliki media sosial kelak , anak2 harus sudah punya value

  3. Ophi Ziadah says:

    Memang tricky ya mba urusan medsos sm abg ini.
    Si kaka anakki yg besar minta dibuatkan akun Ig krn temen2nya hmpr semua punya. Setelah negoisasi paniang akhirnya say buatkan di gadget sy dan dikunci. Memang fungainya lbh buat chat sm temen2nya aja ternyata. Dia pemalu dan ga mau eksis kayak Ibumua sbltnya hahaha

  4. ophiziadah says:

    nice sharing mba…punya anak abg memang agak2 tricky ya klo urusan media sosial ini. si kakak akhirnya aku approve utk bikin akun IG setelah sekian lama tp tp dg akun privat n menggunakan nomoh hpku 🙂
    well ternyata fungsinya sekarang lebih sering uat chat sm temen2 sekolah dan segengnya hehe…
    jujur aku panro banget soale takut ga bs ngontrol mereka

    1. fiona says:

      Makasi, mbak Ophi…iya, anakku juga masih pake hp dan nomerku untuk IG jadi semua masih kebaca walau kadang pusing baca chat di WA ya 😛

  5. Nah iya nih, anak2.butuh pendampingan kalo mau stalking sosial media

    1. fiona says:

      Betul bgt, mbak. Pendampingan intinya memang karena perlu terus-menerus, ga bs sekali jadi 🙂

    1. fiona says:

      Salam kenal, mbak 🙂

  6. Arni says:

    Betul mbak
    Jadi orang tua jaman sekarang itu harus melek teknologi juga. Jangan sampai abai pada jejak digital anak-anak kita
    Dan setuju banget, orang tua sebaiknya jadi orang pertama yang mengajarkan ini itu terkait penggunaan medsos ke anak-anak

    1. fiona says:

      Halo, mbak Arni. Salam kenal 🙂 Setuju banget untuk jadi orang tua yang melek teknologi. Kan banyak apps yang baru-baru kita mesti tetep update.

Feel free to leave your thoughts :)